Zaman dahulu kala ada seorang Raja yang memiliki seorang Pangeran.
Shahzada, demikian nama pangeran tersebut, memiliki sebuah bola yang
terbuat dari emas yang selalu ia mainkan kapan saja.
Suatu hari saat pangeran sedang duduk di pondok peristirahatannya di
halaman istana, lewatlah seorang nenek yang hendak mengambil air dari
mata air yang terletak di depan gerbang istana. Timbul ide iseng di
pikiran Shahzada. Dilemparnya guci nenek tua tadi dengan bola emasnya.
Guci itu pun pecah berkeping-keping. Tanpa berkata sepatah pun nenek itu
mengambil guci lainnya. Namun guci ini pun pecah karena lemparan bola
Shahzada. Nenek tua itu gemetar menahan marah.
Tapi karena segan dengan
sang Raja maka ia hanya diam dan pergi ke toko terdekat untuk mengutang
guci baru. Tapi lagi-lagi Shahzada melempar guci itu dengan bolanya
hingga pecah. Kini nenek itu benar-benar murka. Dia mengangkat wajahnya
ke arah Shahzada.
“Camkan kutukanku ini Pangeran! Aku harap kau akan jatuh cinta kepada Putri bisu!” kutuknya.
Pangeran Shahzada tidak mengerti maksud nenek tua tersebut, tapi
kata-katanya terus mengganggu pikirannya. Hal itu memperngaruhi
kesehatannya, sehingga Shahzada pun jatuh sakit. Puluhan, dokter, tabib
dan dukun telah mencoba menobatinya, namun kesehatannya tak kunjung
pulih. Akhirnya suatu malam Raja mendekati putra tunggalnya.
“Anakku, penyakitmu pasti bukan penyakit biasa. Katakan padaku!
Apakah akhir-akhir ini ada peristiwa aneh yang menimpamu?” tanya Raja.
Shahzada menceritakan kelakuannya saat memecahkan 3 guci seorang
nenek dan kutukan yang dilontarkannya. Lalu Shahzada meminta izin
ayahnya untuk pergi mencari Putri Bisu, karena menurutnya hanya dialah
yang bisa menyembuhkannya. Dengan berat hati Raja mengijinkan putra
kesayangannya pergi dengan ditemani seorang pengawal kepercayaannya.
Singkat cerita, Shahzada dan pengawalnya telah mengembara selama enam
bulan. Mereka berjalan siang dan malam dan hanya tidur beberapa saat
saja setiap malamnya. Kini mereka tiba di sebuah puncak gunung yang
tanah dan bebatuannya bersinar seperti cahaya matahari. Dengan keheranan
mereka bertanya pada seorang kakek yang kebetulan lewat.
“Itu karena Putri bisu,” kata si Kakek. “Ia memakai 7 lapis kerudung
yang menutupi wajahnya. Tapi sinar kecantikannya tetap memancar dan
terpantul di gunung ini.”
“Dimanakah sang putri berada?” tanya Shahzada.
“Jika aku terus berjalan lurus selama enam bulan lagi, kau akan tiba di
istananya,” kata Kakek. “Tapi perlu kuingatkan anak muda! Putri bisu
hanyalah julukan. Karena sang Putri sebenarnya hanya tidak mau
berbicara. Banyak sudah pemuda yang mencoba membuatnya bicara tapi
tidak berhasil. Malang bagi mereka, karena kematianlah yang harus mereka
terima.”
Shahzada tidak gentar mendengar berita tersebut. Ia tetap bertekad untuk menemui sang putri Bisu.
Beberapa waktu kemudian mereka tiba di puncak gunung lainnya. Gunung
ini pun sangat aneh karena semua tanah dan bebatuannya berwarna merah
darah. Sebuah desa tampak terhampar di kaki gunung tersebut.
“Aku sangat lelah,” kata Shahzada. “Mari kita istirahat dulu di desa di bawah sana. Sekalian kita beli perbekalan.”
Mereka pun masuk ke sebuah warung makan. Pemiliknya menyambut mereka
dengan hangat.
Shahzada menanyakan kenapa gunung yang baru saja mereka
turuni berwarna merah darah.
“Oh itu karena Putri Bisu. Meskipun ia memakai 7 lapis kerudung yang
menutupi wajahnya, namun warna bibirnya tetap terpancar di gunung
tersebut,” kata pemilik warung. “Tapi anak muda, sudah banyak pemuda
yang mencoba membuat sang Putri berbicara tapi semuanya tidak berhasil.
Dan kematian adalah hukuman bagi mereka yang gagal.”
“Aku tidak takut,” kata Shahzada. “Katakanlah, berapa jauh lagi istana sang Putri?”
“Tiga bulan perjalanan lagi kau akan sampai di istananya,” kata pemilik warung.
Setelah perjalanan yang sangat melelahkan, pangeran Shahzada dan
pengawalnya melihat sebuah gunung lagi. Di puncaknya berdirilah istana
yang sangat megah. Istana Putri Bisu.
Istana Putri bisu jika dilihat dari dekat ternyata sangat mengerikan karena dindingnya dibangun dari tulang belulang manusia.
“Kita harus memiliki rencana yang matang untuk bisa membuat sang
Putri bicara, atau tulang belulang kita juga akan menjadi bagian dari
dinding istana ini,” kata Shahzada. “Mari kita cari penginapan terlebih
dulu untuk berpikir!”
Esoknya Shahzada dan pengawalnya pergi berjalan-jalan untuk mencari
ide. Di sebuah pasar ia melihat seekor burung bulbul yang cantik.
Shahzada segera membelinya dan membawanya ke kamarnya. Suatu ketika saat
Shahzada sedang melamun sendirian, ia mendengar seseorang menyapanya.
“Apa yang kau pikirkan wahai Pangeran?”
Shahzada terkejut karena tidak ada orang lain di kamarnya. Ia kemudian menyadari bahwa burung bulbulnya yang berbicara.
“Subhanallah, ini pasti mukjizat Allah,” pikir Shahzada.
Ia menceritakan perjalanannya untuk menemui putri Bisu dan kesulitannya menemukan cara untuk membuat sang Putri bicara.
“Jangan khawatir Pangeran, aku akan membantumu. Sang putri memakai 7
lapis kerudung. Tidak ada seorang pemuda pun yang pernah melihat
wajahnya, demikian pula sang Putri tidak pernah bisa melihat pemuda yang
menemuinya,” kata Bulbul. “Besok bawalah aku ke istana. Dan jika kau
telah berada di kamar sang Putri, taruhlah aku di bawah tiang lampu.
Lalu sapalah sang Putri. Ia pasti tidak akan menjawabmu. Nah, katakan
bahwa karena sang Putri tidak mau menjawab maka kau akan berbicara dengan
tiang lampu saja. Dan aku akan menjawabnya.”
Maka Shahzada, Bulbul dan pengawalnya pergi menemui ayah putri Bisu
di istananya. Ia meminta izin untuk mencoba membuat sang putri
berbicara. Shahzada dan Bulbul kemudian diantar ke kamar sang Putri.
“Selamat sore Putri,” kata Shahzada.
Putri Bisu tentu saja tidak menjawab.
“Baiklah karena kau tidak berkenan menjawab, maka aku akan berbicara
dengan tiang lampu saja. Mungkin ia lebih punya perasaan daripada anda,”
kata Pangeran.
“Apa kabar?” tanya Pangeran kepada tiang lampu.
“Cukup baik. Setelah bertahun-tahun akhirnya ada seseorang yang mau
berbicara denganku,” kata Bulbul seolah-olah tiang lampu yang menjawab.
“Allah mengirimmu ke sini dan membuatku bahagia. Maukah kau mendengar
ceritaku?”
“Tentu!” Shahzada.
Alkisah ada seorang Shah yang memiliki seorang putri. Tiga orang pemuda
telah mengajukan lamaran untuk si gadis kepada Shah. Shah lalu berkata
kepada ketiga pemuda tersebut: ‘Siapapun yang memiliki keahlian yang
tidak biasa maka ialah yang berhak menikahi putriku.’ Pemuda-pemuda itu
lalu pergi untuk mencari guru. Mereka pergi ke arah yang berbeda. Namun
sebelumnya mereka berjanji untuk saling bertemu lagi di sebuah mata air
setelah sekian bulan. Pemuda pertama belajar berlari cepat. Jika ia
berlari, perjalanan 6 bulan bisa ditempuhnya dalam waktu setengah jam
saja. Pemuda kedua belajar cara menghilang. Dan pemuda ketiga belajar
meracik obat.
Ketiganya kembali dalam waktu yang hampir bersamaan. Pemuda yang bisa
menghilang mengatakan bahwa putri Shah sedang sakit keras dan mungkin
akan meninggal 2 jam lagi. Pemuda ketiga segera menyiapkan ramuan dan
pemuda pertama secepat kilat membawanya kepada si gadis. Ramuan itu
sangat manjur. Si gadis tidak jadi meninggal dan Shah segera memanggil
ketiga pemuda tersebut.
Nah Pangeran, menurutmu pemuda mana yang pantas mendapatkan si gadis. Menurutku pemuda yang bisa menghilang.”
“Tidak! Menurutku pemuda yang meracik obatnya,” kata Shahzada.
Mereka pun berdebat seru dan saling mempertahankan pendapatnya.
Putri Bisu berkata dalam hatinya, “tidak ada yang ingat dengan jasa pemuda yang telah mengantarkan obatnya.”
Akhirnya karena tidak sabar mendengar perdebatan mereka, Putri
berteriak: “Dasar bodoh! Aku akan memberikan gadis itu kepada si pembawa
obat. Tanpa dia gadis itu pasti sudah mati!”
Raja segera diberi tahu bahwa Putri Bisu telah mau berbicara. Tapi
Putri dengan marah berkata bahwa ia telah ditipu dan ia hanya mau
mengaku kalah jika Shahzada bisa membuatnya berbicara sebanyak tiga
kali. Karena geram, putri pun menghancurkan tiang lampu di kamarnya.
Sore berikutnya, Shahzada dan Bulbul kembali menemui sang putri di
kamarnya. Kali ini Shahzada meletakan sangkar Bulbul di dekat salah satu
dinding.
“Selamat sore Putri,” sapa Shahzada.
Putri tidak menjawab sepatah kata pun.
“Baiklah. Karena kau tidak mau menjawab, mungkin lebih baik jika aku
mengobrol dengan dinding saja. Apa kabarmu dinding?” kata Shahzada.
“Sangat baik,” jawab Bulbul yang pura-pura menjadi dinding. “Aku senang
kau mengajakku bicara. Bagaimana kalau aku menghiburmu dengan sebuah
cerita?”
“Dengan senang hati,” kata Shahzada.
“Di sebuah kota tinggalah seorang wanita yang dicintai oleh 3 orang pria
sekaligus. Ketiga pria itu adalah: Baldji anak si pembuat madu, Jagdji
anak si pembuat lemak, dan Tiredji anak si penyamak kulit. Mereka sering
mengunjungi si wanita, namun tidak pernah saling bertemu karena mereka
selalu berkunjung pada waktu yang berbeda.
Suatu hari, saat si wanita sedang menyisir rambutnya, ia melihat
sehelai uban di kepalanya, ‘celaka! Aku sudah mulai tua. Aku harus
segera memutuskan dengan siapa aku akan menikah,’ kata si wanita.
Kemudian ia mengundang ketiga teman prianya untuk datang pada jam
yang berbeda. Yang pertama datang adalah Jadgji dan ia menemukan bahwa
wanita pujaannya sedang berurai air mata. Ia bertanya kenapa dan si
wanita menjawab, ‘ Ayahku telah meninggal dan aku telah menguburkannya
di kebun belakang, tapi arwahnya selalu menghantuiku. Jika kau
mencintaiku, maukah kau berpura-pura menjadi hantu. Pakailah kain sprei
ini dan berbaringlah selam 3 jam di kuburan. Maka ia tidak akan
menghantuiku lagi.’
Wanita itu menunjuk sebuah lubang kubur yang telah sengaja ia buat
dan Jadgji tanpa ragu-ragu memakai kain sprei itu untuk menutupi
tubuhnya dan berbaring di dalam lubang kubur tersebut.
Lalu datanglah Baldji yang juga menemukan wanita itu sedang menangis.
Si wanita mengulangi ceritanya tentang kematian ayahnya, lalu memberi
Baldji sebuah batu besar; ‘Jika hantu itu datang, pukullah dengan batu
ini,’ katanya.
Terakhir datanglah Tiredji. Dia juga bertanya kenapa ia menangis.
‘Bagaimana aku tidak sedih,’ kata si wanita. ‘Ayahku telah meninggal dan
telah aku kuburkan di kebun belakang. Tapi ternyata ia punya musuh
seorang penyihir dan ia bermaksud mengambil mayat ayahku. Lihat, ia
bahkan sudah membongkar kuburannya. Jika kau bisa mengambil mayat ayahku
maka aku akan selamat tapi jika tidak…’ Si wanita kembali menangis.
Tiredji segera pergi ke kebun belakang untuk mengambil mayat yang
tidak lain adalah Jadgji. Tapi Baldji mengira ada dua hantu yang datang
dan memukul Jadgji serta Tiredji. Sementara Jadgji mengira hantu ayah si
wanitalah yang memukulnya. Ia melemparkan sprei yang ia pakai dan
menubruk Baldji. Mereka bertiga terkejut begitu menyadari keadaan yang
sebenarnya dan bersama-sama menuntut penjelasan dari si wanita.
Nah Pangeran, menurutmu siapa yang berhak menjadi suami si wanita? Menurutku Tiredji!” kata Bulbul.
Menurut Shahzada, Baldji lebih berhak karena berada dalam posisi yang
lebih berbahaya. Mereka berdebat seru, saling mempertahankan
pendapatnya. Putri Bisu yang juga mendengarkan cerita Bulbul sangat
kecewa karena mereka melupakan peran Jadgji dan ia segera berteriak
mengemukakan pendapatnya.
Raja gembira mendengar putrinya berbicara. “Tinggal satu kali anak
muda,” katanya pada Shahzada. Sementara sang Putri sangat kesal karena
telah dua kali keceplosan. Maka untuk melampiaskan amarahnya ia segera
memerintahkan untuk menghancurkan dinding tempat Bulbul bersandar
semalam.
Hari ketiga dan merupakan hari penentuan, Shahzada dan Bulbul kembali
datang ke kamar sang Putri. Kali ini Shahzada meletakkan Bulbul di
belakang pintu kamar Putri. Seperti biasa Putri menolak membuka mulutnya
dan kali ini bahkan ia memunggungi Shahzada. Maka Shahzada berpura-pura
mengajak bicara pintu. Seperti hari-hari kemarin, Bulbul menceritakan
sebuah cerita.
“Alkisah ada seorang Tukang kayu, seorang Penjahit, dan seorang Sakti
yang berkelana bersama. Di sebuah kota, mereka memutuskan untuk menyewa
sebuah toko dan memulai usaha bersama. Suatu malam saat yang lainnya
sedang tidur, Tukang kayu terbangun. Karena tidak bisa tidur lagi, ia
iseng memahat sebongkah kayu menjadi sebuah patung wanita yang sangat
cantik. Saat patungnya selesai, ia kembali mengantuk dan segera pergi
tidur. Tidak berapa lama si Penjahit terbangun. Melihat ada sebuah
patung wanita cantik di tengah kamar mereka, ia tergoda untuk membuatkan
sehelai pakaian yang sangat indah. Setelah selesai, ia memakaikannya
dan kembali tidur. Menjelang pagi si Orang sakti bangun. Ia begitu
terpesona melihat patung wanita cantik berpakaian indah tersebut. Maka
ia memohon kepada Allah SWT untuk menghidupkan patung tersebut. Allah
SWT mengabulkan permintaannya dan patung itu menjelma menjadi seorang
wanita yang mempesona. Ketika Tukang kayu dan Penjahit bangun serta
melihat wanita cantik yang berasal dari patung tersebut, mereka berebut
karena masing-masing merasa berhak memilikinya.
Nah Pangeran, siapa menurutmu yang paling berhak?. Menurutku Tukang kayu,” kata Bulbul.
“Tidak bisa, menurutku si Penjahit,” kata Shahzada.
Mereka kembali berdebat seru. Putri bisu bangkit dari tempat duduknya
dan dengan marah ia berteriak; “Kalian semua bodoh! Orang sakti itulah
yang paling berhak! Wanita itu berhutang nyawa padanya!”
Dan artinya Shahzada berhak menikahi sang Putri karena ia telah tiga
kali memecahkan kebisuannya. Maka pesta pernikahan akbar pun digelar
selama 40 hari 40 malam. Shahzada secara khusus memanggil nenek yang ia
pecahkan kendinya untuk tinggal di istana. Mereka semua hidup bahagia.
Rabu, 30 Oktober 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar